TUGAS SOFTSKILL KELOMPOK
PENGETAHUAN LINGKUNGAN
(Tema: Pertambahan
Penduduk
dan Lingkungan
Pemukiman
di Indonesia)
Disusun
Oleh:
Nama / NPM : 1. Atiek Handayani /31411283
2. Fathimah Baya Nabilah /32411726
3. Tarjo /37411029
Dosen : Dian Kemala Putri
Pertambahan penduduk
yang semakin tidak terbendung mengakibatkan mempengaruhi dengan lingkungan
pemukiman yang ada di Indonesia ini. Kesenjangan sosial juga menjadi salah satu
penyebab dari lingkungan pemukiman yang ada di Indonesia ini antara yang kaya
dan yang miskin. Pemerintah pun tampaknya cukup kesulitan untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan di lingkungan pemukiman yang miskin.
Ditinjau dari jumlah
penduduk yang ada di Indonesia jumlah penduduk jika dilansir untuk tahun 2013
saja yaitu sebanyak 237.641.326 jiwa. Jumlah penduduk Indonesia meningkat
dengan laju pertahun sekitar 1,49 persen (Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014).
Luas daerah Indonesia yaitu sebesar 1.890.754 km2 dilansir pada
tahun 2005 (Sumber: http://www.datastatistik-indonesia.com/portal/index.php?option=com_tabel&task=show&Itemid=165).
Cukup padat akan tetapi kepadatan yang terjadi tidak menyebar, melainkan jumlah
kepadatan itu terjadi yang paling banyak di Pulau Jawa dikarenakan merupakan
Ibu Kota berada di Jakarta dan banyak perantau-perantau yang memilih pindah ke
Jakarta beserta sanak saudara terutama pada saat Lebaran, entah perantau
tersebut sukses ataupun tidak sukses.
Kembali pada pembahasan
terhadap pertambahan penduduk itu sendiri yaitu banyaknya warga yang mayoritas
tidak paham akan pentingnya keluarga berencana yang menyebabkan pertambahan penduduk tersebut
tidak terbendung. Terutama pada warga kurang mampu yang dimana, selain kurang
mampu, juga tak memiliki tempat tinggal yang oleh karena itu mereka tinggal di
tempat yang kumuh, yang sebenarnya tempat tersebut tidak layak bahkan dilarang
oleh pemerintah untuk dihuni karena tempat tersebut milik pemerintah atau milik
orang orang lain atau swasta. Tindakan pemerintah yang tidak sigap dari awal
yang menyebabkan pada pemukiman yang dilarang tersebut sampai bertahun-tahun
bahkan puluhan tahun ditinggali oleh para warga yang tidak memiliki tempat
tinggal yang kemudian hari di usir atau dialokasikan pada tempat lain, mereka
menolak bahkan melakukan tindakan yang anarkis karena mereka merasa sudah
tinggal di daerah tersebut sejak pendahulunya yang kemudian menjadi semakin
sulit dalam pemindahan warga tersebut ke tempat yang legal atau layak. Sebagai
contoh pemindahan warga dari bantaran kali ciliwung, mereka yang tinggal
disana, dipemukiman tersebut dipindahkan karena merusak pemandangan serta
infrastruktur kota, akan tetapi “Pemprov DKI telah menyediakan rumah susun
(Rusun) sebagai tempat relokasi warga yang berasal dari bantaran kali. Ahok pun
selaku wakil gubernyr pun meminta agar warga yang masih tinggal di bantaran
sungai bersedia direlokasi atau pulang ke daerah asalnya masing-masing” (Sumber
kutipan: http://metropolitan.inilah.com/read/detail/2066733/ahok-akan-sikat-semua-warga-di-bantaran-ciliwung#.U1F-oHZiaZS).
Berikut tampilan pemukiman yang berada di bantaran kali ciliwung:
Sumber Gambar:
Pemukiman
liar yang biasa di tempati oleh warga tersebut juga biasanya dipinggir rel kereta.
Pemukiman di pinggir rel kereta sesungguhnya bersifat membahayakan penghuni
pemukiman tersebut ataupun termasuk dalam konteks pemukiman yang tidak legal.
“SUMUTPOS.CO-Pemukiman liar di kawasan rel kereta api akan ditertibkan pihak PT
Kereta Api Indonesia. Penertiban itu sesuai peraturan bahwa kawasan aman untuk
pemukiman dan perlintasan kereta api harus radius 12 meter di sebelah kanan dan
kiri” (Sumber kutipan: http://sumutpos.co/2013/11/68576/pemukiman-liar-di-pinggir-rel-ka-segera-ditertibkan).
Biasanya
mereka yang tinggal di pemukiman tersebut sama halnya dengan yang tinggal di
bantaran kali dikarenakan masalah ekonomi dan juga turun menurun keluarga yang
tinggal di lokasi tersebut. Hal tersebut yang menyulitkan pemerintah ataupun
instansi yang bersangkutan untuk pengatasan masalah. Biasanya mereka meminta
ganti rugi atas pemindha tersebut, sesungguhnya hal tersebut aneh, karena
tempat yang mereka tempati saja sudah tidak resmi atau illegal, akan tetapi
mereka meminta ganti rugi, seharusnya pemerintah atau pihak yang terakaitlah
yang memiliki kewenangan yang meminta ganti rugi atau denda. Sungguh ironis hal
tersebut. Berikut potret dari pemukiman di pinggir rel Kereta Api:
(Sumber gambar: http://sumutpos.co/2013/11/68576/pemukiman-liar-di-pinggir-rel-ka-segera-ditertibkan
)
Pemukiman
yang didiami bukan hanya pemukiman kumuh, akan tetapi pemukiman mewah juga
memiliki hal-hal yang cukup ada perhatian. Permukiman mewah di Indonesia
tentunya sudah sangat berkembang pesat. Permukiman ini bukan hanya rumah mewah,
namun juga apartemen-apartemen mewah yang marak dibangun hingga banyak
dilakukan penebangan liar, pemusanahan lahan hijau demi pembangunan permukiman
mewah. Indonesia sudah jelas menyatakannya dalam UUD 1945 tentang kehidupan
yang layak. Layak dalam arti memiliki tempat berlindung yang cukup. Namun kini,
semua disalah artikan oleh oknum-oknum yang haus akan bisnis properti sehingga
menjadikan cita-cita yang ada dalam UUD 1945 menjadi disalahgunakan. Harga
perumahan kini makin tinggi, pembangunan perumahan mewah semakin gencar,
penduduk Indonesia dengan pendapatan rendah pun semakin tercekik dengan
keadaan. Saat ini kebutuhan rumah tinggal, khususnya di Jakarta setiap tahunnya
mencapai sekitar 70-80ribu unit. Angka yang cukup fantastis, mengingat Jakarta
adalah kota yang tidak besar, namun merupakan jantung kehidupan Indonesia.
Begitu banyak warga Jakarta yang berpenghasilan tinggi dan mampu tinggal di
permukiman mewah yang dibuat oleh agen-agen properti. Tertuang dalam UU No. 1
Tahun 2011 tentang perumahan dan kawasan permukiman. Faktanya, keinginan pemerintan
untuk menjamin setiap warganya untuk memiliki rumah dan bermukin dengan layak
dengan rencana membangun 1000 hunian murah ternyata gagal direalisasikan.
Kendala yang dihadapi cukup berat, dari pencairan dana dan subsidi serta harga
bahan baku yang tinggi. Tidak hanya sampai disitu namun harga tanah yang
semakin mahal dan beberapa daerah di Indonesia yang sulit dijangkau pun menjadi
penyebab gagalnya pemerintah merealisasikan rencana tersebut.
Permukiman
mewah yang semakin berkembang khususnya di kota-kota besar di Indonesia
ternyata menjadi daya tarik tersendiri bagi warga yang tinggal di kota kecil
dengan penghasilan yang rendah. Warga tersebut akhirnya mencoba untuk mengadu
nasib ke kota-kota besar, berharap mendapat pekerjaan dengan penghasilan tinggi
dan dapat hidup layak di permukiman mewah seperti yang dibayangkan. Namun,
kenyataannya tak semua warga dapat hidup layak di kota besar. Banyak persaingan
dan cukup berat untuk dilalui. Alhasil, warga dari kota kecil tersebut
terlantar di kota besar. Permukiman mewah yang diimpikan tak sanggup untuk
dibeli karena harganya yang sangat tinggi. Warga tersebut akhirnya tinggal di
rumah-rumah kumuh di bantaran kali, kolong jembatan dan pinggir rel kereta api.
Tanpa
disadari, pembangunan permukiman mewah di kota besar yang gencar dilakukan ini
berdampak sangat buruk pada pola pikir warga yang tinggal di kota kecil.
Semakin bertambah penduduk di kota besar, namun semakin terlihat kehidupan yang
kontras antara permukiman mewah dan permukiman kumuh. Penggusuran permukiman
kumuh dilakukan dan diganti dengan kegiatan kota lainnya seperti membangun mall
atau apartemen. Sebaiknya pemerintah bisa menyeimbangkan permukiman di
Indonesia. Penggusuran permukiman kumuh seharusnya diganti dengan pembangunan
rusun untuk menampung warga kurang mampu yang tidak bisa hidup layak di
permukiman mewah. Solusi penggusuran ini belum tentu dapat dengan mudah
dilakukan. Banyak warga yang tidak mau dipindah ke rusun dengan berbagai
alasan. Biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah pun tidak sedikit untuk
melakukan penggusuran. Pemerintah memiliki solusi lain yaitu mengadakan
transmigrasi, dimana sebagian warga dipindah ke kota lain agar tercapainya
penyeimbangan permukiman di kota besar.
Opini
berdasarkan sumber yang didapat dari : (http://bulletin.penataanruang.net/index.asp?mod=_fullart&idart=315)
Sumber Gambar: